Minggu, 18 Oktober 2009

Ngak Ada Waktu.

Hari minggu tanggal 18 oct kemarin kami komisi Anak GKI Kepa Duri baru saja selesai mengadakan acara temu wicara antara orang tua, guru sekolah minggu dan adik-adik sekolah minggu. Walaupun secara keseluruhan acara itu berjalan dengan baik, namun ada satu hal yang membuat saya sedikit sedih. Saya melihat dari acara tersebut ada suatu hal yang menunjukan bahwa adanya kekurang perdulian orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan kerohanian anak mereka, sekilas terlihat bagi beberapa orang tua, dengan menitipkan anak-anak mereka di sekolah minggu itu mereka anggap sudah cukup untuk pertumbuhan kerohanian anak mereka. Mereka merasa dengan menitipkan anak mereka disekolah minggu maka tugas mereka untuk mendidik dan memperhatikan pertumbuhan rohani anak mereka sudah selesai, mereka menyerahkan semuanya control kerohanian anak mereka pada guru-guru sekolah minggu dan mbak atau suster-suster mereka, sehingga ketika acara temu wicara seperti ini diadakan, mereka beranggapan mbak atau suster-suster anak mereka yang lebih tepat untuk hadir untuk mengetahui cara-cara membimbing dan mengarahkan pertumbuhan kerohanian anak mereka. Dilain hal juga mereka merasa mereka tidak memiliki waktu lebih untuk datang keacara-acara seperti itu, dengan menyuruh anak mereka kesekolah minggu, mengikuti acara-acara sekolah minggu dan membayar mbak atau suster, maka mereka tidak perlu lagi untuk datang keacara-acara seperti itu. Oleh karena itu sewaktu saya bertanya kepada beberapa anak sekolah minggu, mengapa orang tua mereka tidak hadir diacara temu wicara ini, sebagian besar dari mereka menjawab orang tua mereka sibuk dan ngak ada waktu untuk datang keacara itu. Orang tua mereka ada kegiatan atau acara lain yang lebih penting. Saya sedih sekali mendengar jawaban anak-anak sekolah minggu ini, sepertinya orang tua sudah tidak lagi menganggap pertumbuhan kerohanian anak mereka sebagai suatu hal yang penting, kalah penting dibandingkan dengan keperluan bisnis, kerjaan, ataupun hobby mereka.
Saya jadi teringat akan satu cerita yang pernah saya baca, yaitu cerita tentang seorang anak yang mencoba mengumpulkan uang untuk membeli waktu ayahnya.
Ceritanya, ada sebuah keluarga dengan satu orang anak yang baru berusia 10 tahun, suatu malam sepulang si ayah bekerja, ia heran melihat anaknya belum tidur padahal hari telah malam dan biasanya setiap ayahnya pulang kerja lembur, si anak telah tertidur karena memang sudah malam. Sambil terus melakukan kegiatannya sepulang bekerja, si ayah ini menyapa anaknya yang belum tidur “tumben nak belum tidur??” si anak menjawab “iya, sedang menunggu ayah. Aku ada pertanyaan, boleh bertanya gak??”. “boleh, kamu mau nanya apa??”. “gaji ayah berapa sih??”. Ayahnya sedikit bingung dengan pertanyaan si anak, namun si ayah tetap menjawab “coba kamu hitung sendiri yah, dalam sehari ayah kerja 10 jam dari jam 9 pagi sampai jam 7 malam, ayah dibayar 400rb sehari, itu diluar waktu ayah kerja lembur seperti sekarang dan diluar bila ayah harus kerja pada hari sabtu atau minggu”. “berarti ayah dibayar 40rb satu jamnya diluar waktu lembur yah??”. “iya, wah kamu sudah pintar menghitung yah”. “yah, kalo gitu aku boleh pinjam 5rb gak??”. Dengan sedikit cape ayahnya menjawab “ sudahlah besok saja, kamu mau beli mainan kan??, besok ayah kasih uang lebih”. Si anak tetap memaksa “5rb saja yah, aku bukan minta kok, aku pinjam nanti kalo aku sudah menabung lagi aku akan ganti uang 5rb ayah”. Dengan kesal dan sedikit membentak, si ayah mengatakan pada anaknya “sudahlah kamu tidur saja sekarang, ayah juga sudah cape nih, besok saja ngobrolnya”. Ketika si anak ingin berbicara lagi, langsung di potong oleh ayahnya “sudah jangan bicara lagi, cepat masuk kamar dan tidur sana”. Karena melihat ayahnya marah, si anak cepat-cepat masuk kekamarnya. Ketika si ayah ingin tidur, ia teringat anaknya dan merasa bersalah maka ia cepat-cepat menegok anaknya dikamar, ia melihat anaknya masih belum tidur dan sedang sedikit menangis. Lalu si ayah mendekati anaknya dan mengatakan “maafkan ayah yah nak, besok ayah berikan kamu uang itu, tapi sebenarnya buat apa sih uang itu??”. Si anakpun menjawab “aku selama ini sudah menabung dari sisa uang jajanku dan baru terkumpul 35rb, tadikan kata ayah, ayah dibayar 40rb satu jam, berarti uangku kurang 5rb, aku mau membeli waktu ayah satu jam saja untuk menemaniku main ular tangga”. Mendengar jawaban anaknya ini si ayah langsung memeluk anaknya sambil menangis dan mengatakan “maafkan ayah yah nak”.
Mungkin ini hanya cerita, namun cerita seperti ini banyak kita temukan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, khususnya mungkin dikota-kota besar seperti Jakarta ini. Orang tua menganggap waktu bersama anak ataupun waktu untuk mengontrol dan memperhatikan pertumbuhan kerohanian anak menjadi kurang penting bila dibandingkan waktu untuk bekerja mencari uang. Mereka menganggap dengan uang, mereka dapat membayar mbak atau suster untuk memperhatian anak mereka termasuk memperhatikan pertumbuhan iman kerohanian anak mereka. Bila seperti ini yang terjadi, maka jangan heran bila suatu waktu kita menemukan anak yang lebih dekat dengan mbak atau suster mereka, kita juga akan menemukan anak yang lebih percaya dan menurut semua perkataan mbak atau suster mereka, kita juga akan menemukan anak yang lebih suka mencari tahu tentang apapun juga termasuk yang berhubungan dengan iman dan kerohanian mereka melaui orang lain ataupun dari teman-teman mereka.
Marilah sekarang kita mulai memprioritaskan apa yang lebih penting untuk kita, apakah benar uang dan pekerjaan menjadi prioritas kita yang utama dan terutama dibandingkan dengan pertumbuhan iman dan kerohanian anak??
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar